Kopi Jember

Sumber artikel : Berita Jatim

Peluang bisnis kopi indonesia di Jember saat ini semakin bagus. Tahun 2010, konsumsi kopi sekitar 0.,8 kilogram per kapita per tahun. Saat ini angka itu sudah naik menjadi 1,2 kilogram. Kalau dikonversi, kira-kira sekitar 2-3 cangkir kopi per hari. "Kopi di Indonesia pertama kali datang dari Batavia (Jakarta). Tapi sekarang di Jakarta, yang ada bukan lahan kopi, tapi kafe. Kopi dihasilkan di Jember, tapi yang maju adalah pemilik kafe di Jakarta. Saya berpikir, kenapa kok di sini tidak bisa berkembang. Tentu itu semua kembali kepada diri kita masing-masing," jelas Kepala Bagian Teknik dan Pengolahan PT Perkebunan Nusantara 12 Dudiek Polii.
Perkebunan rakyat di Kabupaten Jember mayoritas membudidayakan kopi robusta. Perkebunan kopi ini mulai berkembang pada 1860 dan banyak dikembangkan di Kecamatan Panti dan Silo, terutama Desa Mulyorejo dan Pace. Di Panti, Badan Pusat Statistik mencatat ada 441,4 hektare areal kopi, namun kini sebagian besar dikuasai Perusahaan Daerah Perkebunan dan perusahaan swasta. Rakyat hanya menjadi buruh kebun.
Rata-rata kebun kopi di Silo berada di kawasan hutan Perhutani. Luas lahan di Mulyorejo sekitar enam ribu hektare. Rata-rata setiap keluarga menggarap satu sampai dua hektare lahan, dengan kapasitas produksi total empat ribu ton per tahun. Kopi menjadi kekuatan ekonomi di sini. Sejak 1980, 30 persen warga Desa Mulyorejo telah berhaji.
Saya pernah bertemu Ketua Asosiasi Lemabaga Masyarakat Desa Hutan Jember, Imam Buchori. Dia mengatakan, rata-rata satu LMDH bisa menghasilkan 200 ton biji kopi. Diperkirakan ada 32 ribu hektare tanaman kopi di kawasan hutan, namun informasi Perhutani, hanya sembilan ribu hektare yang produktif. Sebagian besar adalah penggarap kopi jenis robusta. "Dari 30 ribu hektare kopi yang ditanam di kawasan hutan produksi dan lindung di Jember, hanya 500 hektare yang kopi arabika. Terbanyak di kawasan Kecamatan Panti," kata Imam.
Dengan potensi sedemikian besar, mengapa kopi robusta di Jember tidak sangat perkasa menggerakkan perekonomian daerah secara keseluruhan? Kultur menjadi kata kunci untuk pengembangan sektor ini, terutama di Kabupaten Jember. Kedai adalah hilir dari rantai panjang komoditas kopi. Sebelum itu ada budi daya. Sejumlah perkebunan rakyat menghasilkan kopi robusta yang digarap secara tradisional dan belum mendapat sentuhan bisnis modern.
Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia Jawa Timur Bambang Sriono mengatakan, konsumsi kopi dunia sampai saat ini mencapai 1,25 miliar cangkir kopi per hari. Namun, dia prihatin dengan kondisi perkopian di Jember. "Terus terang saja, respons Pemerintah Daerah Jember sangat kurang," katanya.
Bambang pernah menerima tamu dari pemerintah pusat yang ingin mengangkat potensi kopi di Jember untuk dipasarkan ke pasar nontradisional. Namun, saat berdiskusi dengan perwakilan pemerintah pusat tersebut, ia didampingi perwakilan Pemerintah Kabupaten Jember yang tidak begitu menguasai bidang kopi. "Sehingga waktu itu yang bicara dan mempromosikan kopi di Jember hanya kami dan teman-teman Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jadi sangat disayangkan sekali," katanya.
"Kopi robusta di Jember punya potensi. Tapi karena (pelaku bisnis kopi) berjalan sendiri-sendiri tanpa ada respons dari pemerintah daerah, ya otomatis tetap seperti itu saja, hanya bicara pasar lokal. Kami tak ingin bicara pasar lokal. Kami ingin go international seperti di Bondowoso," kata Bambang.
Komoditas kopi setiap daerah memiliki keistimewaan masing-masing. Hal terpenting adalah kualitas. "Kualitas yang bagus bisa diperoleh jika tanaman kopi bisa dikelola dengan baik, mulai dari pengelolaan lahan, gelondong merah, sampai di pasar. Biji kopi yang bagus adalah yang berwarna merah, karena itu indikator kemasakan," kata Dudiek.
Petani kopi Jember tak perlu bingung. "Jangan gamang menerima informasi. Setiap kopi memiliki processing masing-masing. Jangan latah. Belum tentu processing tertentu meningkatkan taste (cita rasa). Petani harus punya keyakinan, suatu ketika, pasar akan mencari kopi yang dimiliki," katanya.
Dudiek mencontohkan kopi luwak. "Kopi luwak ini mild. Mulai dari anak kecil hingga dewasa suka, karena luwak memakan kopi yang masak optimal," katanya.
Manajer Kebun Kalisanen PT perkebunan Nusantara 12 Yualianto menegaskan, masing-masing daerah memiliki spesifikasi kopi dengan cita rasa berbeda. "Jadi jangan takut. Semua punya cita rasa khas. Cuma memang agar taste (cita rasa) ini keluar, biji kopi yang dipanen memang harus masak sempurna," katanya.
Para pemangku kepentingan dan kebijakan di Kabupaten Jember sebenarnya bisa meniru bagaimana kopi arabika dikembangkan di Bondowoso. Ada tujuh pihak yang menandatangani kesepakatan bersama pada 20 Maret 2011, yakni Bank Indonesia, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, asosiasi petani, pemerinta daerah, Bank Jatim, eksportir, dan Perhutani.
"Kami bisa go international pada 10 Juni 2011. Dalam waktu sekian bulan, kalau direspons dengan betul, kopi kita bisa go international. Alangkah baiknya apa yang diterapkan di Bondowoso bisa diterapkan di Jember. Tapi kembali lagi pada penentu kebijakan," kenang Bambang yang ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.
Yualianto mengakui kerjasama memang perlu ditingkatkan untuk mendongkrak kopi robusta Jember. Dari 86 ribu hektare lahan yang dikuasai dan dikelola PT Perkebunan Nusantara 12, sebanyak lima ribu hektare adalah lahan kopi robusta. Dari delapan kebun kopi robusta di Jawa Timur, lima kebun di antaranya berada di Kabupaten Jember. Fakta ini sudah menunjukkan betap strategisnya posisi Kabupaten Jember dalam pengembangan budidaya kopi robusta. Lima kebun tersebut adalah Gunung Gambir di Kecamatan Sumberbaru, Zelandia di Tanggul, Rayap Renteng di Arjasa, Silosanen di Silo, dan Gumitir di Silo.
Lima kebun itu dikelilingi lahan petani kopi rakyat. "Cuma memang sampai saat ini, sinergi antara PTPN 12 dengan petani kopi di Jember masih perlu ditingkatkan. Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), kami punya misi, selain menghasilkan devisa negara dari ekspor komoditas, juga menjadi penggerak perekonomian sekitar perkebunan dan menjaga lingkungan," kata Yualianto.
Yualianto mengatakan, ada beberapa kendala yang dihadapi petani kopi rakyat di Jember. Dalam hal kultur teknis, ia menyebut para petani kopi robusta punya kemampuan dan ilmu yang memadai. "Rata-rata petani di sekitar kebun adalah putra orang kebun. Bapak mereka belajar kemampuan kultur teknis dari perkebunan," katanya.
Namun, lanjut Yualianto, petani punya kebiasaan tak selektif dalam memanen. Mereka memanen biji kopi tanpa memperhatikan tingkat kemasakan. "Biji warna merah, hijau, hitam dipanen semua, sehingga taste (cita rasa) tidak jelas," katanya. Padahal itu mempengaruhi harga di pasaran. PTPN 12 siap menampung kopi dari petani asalkan masak sempurna.
Penataan mulai dari hulu akan membantu pengembangan kopi robusta di Jember. Penjabat Deputi Pimpinan Kantor Bank Indonesia Jember Gde Agus Dwijaya juga yakin komoditas kopi bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun ia meminta agar semua pemangku kepentingan dalam bisnis kopi robusta di Kabupaten Jember tak hanya memperhatikan budidaya, namun juga memperhatikan karakteristik penikmat dan peminum kopi.
"Karakteristik pertama adalah kopi gaul. Mereka nongkrong tidak jelas, minumnya kopi 'sachet'. Kalau petani punya green bean (biji kopi warna hijau) harganya cuma seribu rupiah, dijual di sini tidak ada masalah. Jadi kalau petani masih memetik kopi berwarna hijau (belum masak optimal, red), pasarnya masih ada. Tapi jangan lama-lama di sana, karena tidak dapat hasil apa-apa kecuali untuk menutupi kebutuhan perut saja," kata Gde Agus.
Sebagian besar ekspor kopi dari Indonesia, 65 ribu ton, diarahkan ke Amerika Serikat. "Namun kita juga mengimpor dari Vietnam sekitar 7.582 ton pada 2015. Namun secara prinsip, kopi nasional luar biasa," kata Gde Agus. Khusus robusta, 80 persen produksi perusahaan perkebunan negara dikirim ke luar negeri dan hanya 20 persen yang dijual di lokal.
Karakteristik kedua adalah penikmat kopi pasaran, seperti di gerai-gerai kopi atau kafe. "Mereka ini orang-orang yang suka nongkrong tapi ingin merasa berkelas. (Nama modifikasi) minuman kopi yang dinikmati juga lucu-lucu," kata Gde Agus.
Karakteristik ketiga adalah penikmat kopi khusus (specialty). "Mereka ingin mencari komoditas kopi berjenis khusus. "Kopi Bondowoso sudah mulai dicari. Bagusnya, Bondowoso sudah punya identitas Republik Kopi. Jember mungkin perlu dicari identitasnya," kata Gde Agus.
Karakteristik terakhir adalah kategori penikmat kopi artisan, yang memiliki ikatan antarkomunitas penikmat kopi dan menganggap kopi sebagai seni. Mereka saling berbagi informasi dan kenikmatan kopi. "Ada filmnya: Filosofi Kopi," kata Gde Agus.
Menurut Gde Agus, kopi jenis robusta dan arabika sebenarnya dari aspek ekonomi sama-sama seksi. "Kalau Jember mau mengembangkan robusta, musuhnya banyak. Tapi taste dan karakteristik Jember beda, sehingga segmentasinya bisa dicari," katanya.
Bank Indonesia selama ini menjadi pemain kunci di balik suksesnya pengembangan kopi arabika di Bondowoso. BI membina petani hingga siap diberi kredit oleh perbankan, dan membina bagaimana keuangan petani kopi di Bondowoso kuat, termasuk dengan mengatur uang untuk peruntukan kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan usaha.
Khusus untuk di Jember, Bank Indonesia membina Koperasi Ketakasih yang bergerak di bidang kopi robusta. "Secara kelembagaan, Ketakasih lebih kuat daripada binaan kami di Bondowoso. Ini dikarenakan (jumlah petani kopi) mereka lebih sedikit daripada Bondowoso. Jadi karakteristik pola pengelolaannya berbeda," kata Gde Agus. PTPN 12 siap menjembatani petani dengan perbankan untuk mangakses permodalan. PTPN XII memiliki data petani binaan yang bisa menjadi pertimbangan perbankan untuk meminjamkan dana kepada budi daya perkebunan kopi rakyat.
Gde Agus menyarankan agar semua pemangku kepentingan dan kebijakan masalah kopi bergegas, agar tak tertinggal kereta terlalu jauh. Jika urusan kopi bukan sekadar ekonomi tapi juga kultur, Kabupaten Jember, tertinggal jauh dibandingkan kota tetangga, Kabupaten Bondowoso, karena belum memiliki identitas tertentu yang menjual. "Jangan sampai kita menyebut 'Kopi Pendalungan', tapi ternyata Pendalungan tidak diakui banyak orang lalu jadi masalah. Jangan sampai di kopi seperti itu, karena yang penting dalam (bisnis) kopi adalah sinergi," kata Gde Agus.
Dalam analisis Bank Indonesia, bisnis kopi robusta di Jember memiliki kendala produktivitas, kualitas, daya saing, dan kelembagaan. Dalam aspek kelembagaan, Koperasi Ketakasih yang dibina Bank Indonesia bisa menjadi percontohan. Dalam hal daya saing, persoalan petani kopi adalah masih adanya kebiasaan memanen dan menjual biji kopi yang masih berwarna hijau (green bean). "Pengolahannya belum optimal ke arah specialty, dan masih terbatasanya akses permodalan. Selain itu tata niaga masih belum efisien. Masalah tata niaga berat, karena masih adanya mafia. Tapi kami masih bisa fasilitasi (untuk membenahi tata niaga)," kata Gde Agus.
Kebiasaan memanen sebelum kopi masak optimal terkait dengan kendala berupa persoalan ekonomi pribadi petani yang membutuhkan uang cepat. "Padahal petani tahu biji kopi harus dipetik dalam kondisi merah. Kami sendiri tidak memasakan. Kalau tidak bisa petik dalam kondisi kopi berwarna merah, tidak apa-apa dipetik saat berwarna hijau. Tapi pasarnya kita cari, walau pun rugi. Ada beberapa buyer yang mau membeli walau warna kopi hijau. Tapi jangan banyak-banyak," katanya.
Hal ini juga dikeluhkan Yualianto. Selama ini, PTPN 12 sudah membina petani dari sisi kultur teknis, sistem panen, dan pengolahan pasca panen. "Pengolahan menjadi kendala utama, karena butuh biaya besar. Kami punya dana CSR (Corporate Social Responsibility atau dana tanggung jawab sosial perusahaan) yang bisa diperbantukan untuk petani dengan bunga lunak, yang dibayar saat panen. Cuma kadang ada petani yang menjual kopi ke tengkulak setelah panen," kata Yualianto.
Jan T.M. van Laanen, peneliti asal Belanda dalam artikel 'Di Antara De Javasche Bank dan Ceti-ceti Cina: Perbankan dan Kredit di Indonesia pada Zaman Kolonial', menyebut, sistem ijon dalam dunia pertanian di Indonesia sebagai kelaziman yang berkaitan erat dengan jiwa gotong royong, di mana anggota masyarakat saling memberikan kredit, atau disebut “kredit bumiputera.”
Van Laanen mengatakan, "suatu sumber kredit yang penting bagi petani kecil, adalah yang diberikan para pedagang yang memborong hasil-hasil tani mereka untuk diekspor atau dijual kembali di dalam negeri. Dengan pembayaran uang muka, para pedagang itu mendapatkan hasil bumi tersebut dengan harga yang lebih murah. Apa yang disebut sebagai sistem ijon (pembelian sebelum panen) adalah biasa."
Ini persoalan klasik. Jadi, lanjut Gde Agus, petani perlu dibina dan diarahkan pelan-pelan. "Tidak bisa memang langsung diubah," jelasnya.
Sementara itu, terkait produktivitas, Gde Agus mengatakan, organisme penyakit tanaman (OPT) kopi di Jember kadang sulit dikendalikan. "Sebenarnya kita bisa belajar dari Bondowoso. Selain itu, (petani) kita masih belum menguasai teknologi," katanya.
Berikutnya adalah problem intensifikasi, ekstensifikasi, dan konservasi serta tumpang sari. "Kalau petani lapar hari ini, jangan petik kopi (untuk dijual), tapi tanaman tumpang sarinya," kata Gde Agus.
Semua kendala itu bisa dihadapi dengan karakter, pola pikir, dan sinergi semua pemangku kepentingan kopi robusta di Kabupaten Jember. "Ini sudah semacam people power. Semua bergandengan tangan untuk mengembangkan ekonomi kopi," kata Gde Agus.
Gde Agus menawarkan beberapa solusi yang bisa dilakukan bersama seluruh pemangku kepentingan ekonomi kopi di Kabupaten Jember. "Pertama, kita harus mengidentifikasi, mana kelompok-kelompok yang bisa dikembangkan bersama oleh semua pihak. Bukan hanya petani, tapi juga sampai pedagang dan konsumen," katanya. Kategori konsumen harus diidentifikasi untuk menentukan pangsa pasar.
Langkah kedua, Bank Indonesia menawarkan perlunya peraturan daerah mengenai kopi. "Kalau mau bergandengan, namanya institusi harus ada koridornya. Kalau tidak jelas, mau bergandengan susah," kata Gde Agus.
"Ketiga, sinergi berbagai pihak. Ini gampang diomongkan tapi susah dijalankan. Tapi kalau ada perda, sudah jelas pengaturannya, mau ngomong bisa dijalankan" kata Gde Agus.
Solusi keempat, implementasi dan pengembangan sesuai bidang tugas masing-masing. "Ini roh pengembangan ekonomi berkelanjutan," kata Gde Agus.
"Terakhir, maturity dan continues innovation. Semua sudah berjalan dengan sendirinya, tinggal menggandeng peneliti ini mau dikembangkan ke mana," kata Gde Agus.
Belajar dari Bondowoso, pembinaan Bank Indonesia berjalan satu tahun penuh. "Petani dipaksa habis-habisan. Tapi hasil tidak akan memungkiri proses," kata Gde Agus. 
Dudiek berharap tahun depan sudah bermunculan kopi produksi petani Jember yang dijual di kafe-kafe dengan kemasan yang bagus. "Jadi saya bisa tanya, mana kopi dari Kemuning, mana kopi dari Silo. Itu suatu 'brand' yang akan melekat pada wisata dan melekat pada benak turis yang datang ke sini. Kalau bicara kopi sekarang sudah bicara entertainment dan pariwisata," katanya.
Salah satu petani Bondowoso, Achmad Husein, mengakui jika pemerintah daerah, Bank Indonesia, dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia berjasa mengembangkan ekonomi kopi arabika di kota itu. "Petani sudah bangkit dan merdeka. Saya jadi petani kopi sejak 1985. Sangat jauh berbeda saat sebelum dan sesudah dibina. Bahkan dari sisi harga jual kopi saja, bisa berbeda empat kali lipat lebih besar," katanya.
Kini, Husein meminta agar kopi robusta juga diperhatikan. "Semua petani ingin meningkatkan taraf hidup. Yang jadi kendala petani Bondowoso dan Jember adalah peralatan. Kami mau membuat barang (kopi) lebih bagus, tapi tak punya peralatan dan dana," katanya.
Problem teknologi budidaya petani kopi robusta Jember ini disadari benar oleh Staf Khusus Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Agus Budi Santoso. Dia mempersilakan para petani dan pegiat kopi untuk bekerjasama dan memanfaatkan hasil riset. "Ke depan kalau memang Jember ingin mengembalikan kejayaan kopi robusta, Puslitkoka siap mendukung dengan teknologi yang sudah ada ," katanya.
Selama 106 tahun, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) di Kabupaten Jember, telah memproduksi banyak teknologi dan riset untuk mendukung sektor kopi robusta, mulai dari penetapan lokasi pengembangan kopi, persiapan lahan, bahan tanam unggul, pemeliharaan, hingga teknologi pengolahan.
"Berbagai klon-klon unggul baru sudah didapat dari hasil penelitian. Untuk mengembangkan kopi robusta, tak bisa menggunakan satu klon saja. Minimal harus digunakan tiga klon dalam satu hamparan, supaya produktivitasnya optimal. Kualitas dan persiapan lahan juga harus bagus," kata Agus Budi.
"Banyak pengalaman yang kami lihat di berbagai daerah, ketidakberhasilan pengembangan kopi dikarenakan persiapan lahan yang tidak memenuhi syarat. Lahan masih terbuka. Para petani terburu-buru menanam kopi. Padahal tanaman kopi butuh tanaman pelindung, karena tidak bisa hidup jika kita membudidayakan tanaman jagung atau padi. Kegagalan-kegagalan semacam itu seharusnya menjadi catatan antisipasi agar (budidaya kopi di Jember) bisa berhasil," kata Agus Budi.
Puslitkoka punya tenaga ahli yang bisa mendampingi petani kopi robusta Jember di lapangan. "Bagaimana memperbaiki mutunya dan bagaimana memasarkannya. Kami sudah banyak melakukan pendampingan petani kopi di Kintamani, Bali, Flores, Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan. Kami juga melakukan pendampingan di Garahan, Silo, Jember. Itu upaya kami membangkitkan semangat petani supaya bisa menghasilkan biji kopi berkualitas yang bisa dijual dengan harga menarik," kata Agus Budi.
Namun membereskan pekerjaan rumah di hulu, bukan berarti persoalan selesai. Ada problem pada rantai bisnis kopi robusta di hilir yang menanti. Kantor Bank Indonesia Perwakilan Jember pernah meneliti bisnis kedai kopi di sekitar Universitas Jember. Hasilnya: idealisme kedai kopi tak bertahan lama.
"Kami pernah survei, bisnis kopi bertahan empat bulan sebelum berubah menjadi bisnis lain. Kalau kita tidak bisa menyegmentasi pasar untuk jualan kopi, pasti susah. Jualan kopi tidak akan bisa bikin kita kaya. Yang bikin kaya bisnis sampingannya kopi. Kalau mau kaya, idealisme kopinya dikurangi. Yang bisa bikin kaya adalah ekspor kopi. Kalau mau kaya, jadilah artisan kopi (yang menilai kopi sebagai seni)," kata Gde Agus.
Gde Agus secara bisnis sudah menghitung. Dia sendiri punya kafe dan bergerak sebagai artisan. "Empat bulan saya tutup, karena sudah balik modal. Jualan yang lebih banyak di side business-nya," katanya.
Sementara itu, Tutus, salah satu pengusaha mikro bisnis kopi di Jember, menyebut bergesernya idealisme pebisnis kedai kopi dikarenakan tak berjalannya literasi. "Warung kopi sudah bergeser menjadi warung internet yang menyediakan kopi. Bukan lagi warung kopi yang menyediakan ruang publik bagi mahasiswa untuk berekspresi. Arahnya sekarang adalah warnet berbentuk kafe yang menyediakan kopi. Kopi hadir hanya sebagai simbol formalitas," katanya.
"Orang kini masuk ke kafe, duduk di pojok, yang ditanya pasti: Mas, di sini password wi-fi apa? Minumnya cuma air mineral, bukan kopi. Saya setuju, jika kemudian kita perlu meningkatkan (budaya minum) kopi di kafe, termasuk yang di pinggir jalan," tambah Dudiek.  
Ini yang bikin Tutus prihatin. Selama tiga tahun, ia dan kawan-kawannya mengembangkan literasi untuk mendidik publik dan menciptakan usaha mikro kafe yang beromset hanya Rp 10 juta per bulan. "Saya menemukan, problem utama (ekonomi kopi) adalah kurang dikelolanya masalah sosial budaya. Kita selalu berkutat pada hulu, budidaya, ekspor, varietas, dan seterusnya. Saya berharap ke depan, perlu diwacanakan literasi sosial budaya, karena daya serap masyarakat untuk ngopi alias minum kopi cenderung kurang bergairah, karena kopi masih dianggap tradisi menyamkbut tamu dan levelnya rumah. Universitas Jember sebagai sentral akademisi di tapal kuda kurang membantu literasi soal kopi,": katanya.
"Kalau menggarap suatu produk, daya serap lokalnya dulu dikelola. Paling simpel mulai dari rumah dan yang nongkrong di warung kopi. Pasar Universitas Jember ini sangat menarik untuk buka usaha kopi. Tapi mahasiswa tidak memberi feedback secara pengetahuan. Itu yang membuat banyak teman yang gulung tikar dan bergeser bisnisnya," tambah Tutus.
Gde Agus mengatakan, literasi kopi harus melihat segmen. "Yang dimainkan adalah segmen anak muda atau 'kids zaman now'. Kalau pukul rata seluruh masyarakat mau diliterasi tidak akan bisa," katanya.
Peneliti Universitas Jember Sonny Sisbudi Harsono menolak anggapan jika akademisi tidak terlibat dalam literasi kopi. Pihaknya sudah melakukan riset soal kopi dalam beragam aspek mulai dari sosial budaya hingga kesehatan. "Kami menemukan fakta bahwa kopi itu sehat untuk menghilangkan lemak-lemak di pembuluh darah. Dua cangkir kopi asli tanpa gula sehari bisa menghilangkan lemak-lemak, sehingga mengurangi sakit stroke," katanya.
Yualianto mengatakan, edukasi kepada masyarakat bukanlah sesuatu yang murah. "Mahal sekali biayanya. Perlu waktu dan ketelatenan. Semua bisa teratasi, bila pemegang kuasa peduli. Di Jember, even banyak sekali. Kalau memang pemerintah peduli, setiap even harus ada edukasi mengenai kopi, apapun evennya, bekerjasama dengan Universitas Jember. Saya kira lambat laun masyarakat bisa teredukasi bukan hanya peminum kopi, tapi penikmat kopi," katanya.
PTPN 12 pernah melakukan edukasi kepada publik pada 2011 di Gumitir Cafe and Rest Area, Kecamatan Silo. Normalnya, satu cangkir robusra dibanderol Rp 6 ribu. Namun saat itu dua minggu sekali dalam sebulan, setiap Rabu, pegelola kedai memersilakan pengunjung minum kopi sepuasnya. "Kami ingin mengedukasi masyarakat tentang cara menikmati kopi yang benar. Yang tahunya hanya sekadar minum, di sini kami memberikan penjelasan tentang cara minum kopi yang baik," kata Waluyo, pengelola kafe. 
Sementara itu Puslitkoka juga memiliki program pelatihan reguler mulai dari budidaya hingga pelatihan barista dan usaha kafe. "Kami juga punya sains teknopark yang menghasilkan start up-start up atau pengusaha pemula. Kami dukung pendanaannya dari Kementerian Riset dan Teknologi. Kami sekarang membuka kesempatan kepada para petani. Kami juga punya wisata pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi kopi dan kakao," kata Agus Budi.
Anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi perbankan Muhamad Nur Purnamasidi mengatakan, tidak ada alasan bagi semua pihak untuk tidak mengembangkan ekonomi kopi di Kabupaten Jember ke arah industri. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Jember sudah bergerak di bidang inovasi teknologi kopi. "Kemitraan dari PT Perkebunan Nusantara XII sudah ada. Dari Bank Indonesia ada support luar biasa. Begitu juga Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia juga memberikan dukungan," katanya.
Peluang pengembangan ekonomi kopi di Kabupaten Jember besar. "Kalau petani kita diajari teknologi yang baik, sudah pasti peningkatannya luar biasa," kata Purnamasidi. Dengan kondisi saat ini, pendapatan petani kopi di Jember dalam setahun bisa Rp 50 juta. Jika kemudian semua pihak bekerjasama, terutama dalam hal akses permodalan dan teknologi, pendapatan petani kopi bisa meningkat menjadi Rp 200 juta per tahun, karena harga ekspor lebih tinggi.
Namun Purnamasidi mengakui, bahwa budidaya kopi terkendala persoalan perekonomian rumah tangga para petani. "Mereka dituntut memenuhi kebutuhan hidup, seperti membayar kebutuhan sekolah untuk anak," katanya. Ini membuat budidaya kopi berkualitas terputus di tengah jalan, karena petani memetik biji kopi saat belum masak optimal.
"Negara, dalam hal ini pemerintahan Jember, harus hadir," kata Purnamasidi. Kehadiran pemerintah daerah Jember untuk mendukung ekonomi kopi akan mendongkrak kepercayaan pengusaha atau eksportir terhadap petani Jember. Kepala daerah diharapkan ikut memberi jaminan dan rasa aman bagi investor untuk masuk dan membeli kopi rakyat milik petani agar bisa diekspor, sehingga ada nilai tambah komoditas.
"Pertanyaannya: sudah sejauh mana Pemerintah Kabupaten Jember ini melakukan hal yang sama (dalam ekonomi kopi) sebagaimana dilakukan Pemerintah Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi. Jadi jawabannya negara harus hadir. Semua pihak punya kepentingan, dan harus disatukan negara. Jadi memang harus ada peraturan daerah, dan itu yang harus diperjuangkan," kata Purnamasidi.
"Memang persoalannya adalah bagaimana kita bersepakat, bersinergi, bagaimana petani untuk bergeser tidak hanya menjadi petani, namun juga menjadi wirausahawan. Petani harus punya rasa sebagai pengusaha kopi, walau hanya punya lahan satu hektare. Dengan demikian, setiap tahun punya kepentingan meningkatkan keuntungan," kata Purnamasidi.
Purnamasidi mengajak kepada Bank Indonesia dan semua pemangku kepentingan ekonomi kopi, seperti Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia dan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Jember untuk mulai bergerak pada Januari tahun depan. "Bagaimana petani yang semula katakanlah menjual kopinya seribu rupiah bisa jadi seratus ribu rupiah. Terobosan harus dilakukan. Saya yakin ini sangat mungkin: permintaan sangat tinggi, ekspor luar biasa, teknologi sudah sedemikian rupa, kemudian PTPN 12 mau membangun kemitraan, perguruan tinggi mau mem-back up inovasi. Jadi ini peluang luar biasa. Saya sebagai anggota DPR RI, bukan penyambung lidah, tapi penyambung langkah," katanya.
Solusi: Perda Kopi 
Regulasi daerah bisa menjadi pendorong kuat pengembangan ekonomi kopi robusta di Jember. Melalui peraturan daerah, sebagaimana kata Purnamasidi, pemerintah hadir untuk menghubungkan para pemangku kepentingan bisnis kopi yang selama ini cenderung berjalan sendiri baik hulu maupun hilir. 
"Kalau kita mau mendorong sinergi, koridornya harus dibikin dulu. Jadi kalau tidak ada koridornya, sinergi yang mau dijalankan sampai mana? Kalau ada rencana pembentukan perda kopi, harus memperhatikan berbagai kepentingan, terutama petani kopi rakyat karena memiliki pendapatan paling rendah dibandingkan mata rantai distribusi lainnya. Kami mendukung perda kopi. Kalau bisa kami diajak diskusi untuk memberi masukan bagaimana perda kopi yang baik," kata Gde Agus.
Bank Indonesia BI berencana mengembangkan pembinaan petani kopi dengan pola klaster. "Dengan pola klaster, kami akan memilah dari hulu ke hilir. Klaster sendiri memiliki pembinaan menyeluruh sampai level rumah tangga dan berbatas waktu, dan kami akan membina optimal sampai petani siap kami tinggalkan," kata Gde Agus. [wir]